Advertisement
Gam Cantoi dari buah tangan Sampe takkan muncul lagi dan tidak bisa lagi mengisi halaman Serambi. “Gam Cantoi” karya Sampe telah pergi bersama berpulangnya Sang Maestro ke Rahmatullah, Sabtu 30 Maret 2013 sekitar pukul 18.50 WIB di RS Herna, Medan. Sudah sejak lama ia dirawat akibat deraan penyakit yang hinggap di tubuhnya. Innalillahi wa innailaihi raji’un.
Lelaki batak, itu, adalah sisi lain dari wajah Serambi Indonesia. Celoteh dan tingkah polah Gam Cantoi merupakan wujud satir kehidupan sekeliling kita. Muhammad Sampe Edward dengan tangkas menyerap seluruh peristiwa sekeliing kita, baik semasa dicekam konflik atau pada era damai. Ia merefleksikan perikehidupan masyarakat dalam kegenitan wujud Gam Cantoi.
Sampee Edward adalah sosok kontras Gam Cantoi. Ia memiliki postur tubuh tinggi besar. Vokal berat dan berbicara selalu dalam aksen Medan dengan nuansa Batak. Sementara Gam Cantoi yang menjadi ikon Serambi dilukiskan dengan sosok bertubuh ceking, dengan sehelai ujung rambut runcing melambai-lambai. Gam Cantoi tampil menggelitik, bahkan membuat merah kuping yang menjadi sasaran “olok oloknya”.
Banyak pembaca Serambi merasakan belum lengkap apabila belum menyaksikan “tingkah polah” Gam Cantoi. Tidak sedikit dari pembaca yang langsung melahap Gam Cantoi, sebelum beralih ke halaman lainnya.

Kini Gam Cantoi itu telah pulang ke alam keabadian. Meninggalkan lembaran kenangan bagi Aceh yang menjadi tanah kelahirannya ke dua. Di Tanah Serambi Mekkah ini ia menemukan hidup dan menyunting gadis Aceh, drh Cut Intan Manfadzi yang begitu setia mendampingi Sampe Edward sampai saat-saat terakhir. Sampe juga meninggalkan seorang putra, Alwafi Hafizan (16 tahun).
Betapapun, keluarga besar Serambi tak bisa melupakan Sampe Edward. Terutama ketika dia yang hadir dari kultur Batak itu, berusaha keras menelaah karakter Aceh untuk dituangkan dalam kartunnya. Dia akhirnya berhasil  menciptakan suatu sosok yang ternyata kemudiannya begitu digemari oleh masyarakat. Karena itu, tak jarang sejumlah orang, bahkan anak-anak datang ke kantor Serambi hanya untuk melihat mana gerangan si pelukis Gam Cantoi.
Sampe sendiri menyambut fans-nya dengan ramah, walaupun penampilannya memang selalu serius, dan rada pendiam. Figur yang akrab dipangggil dengan “Pak Cik” oleh rekan-rekannya sekantor, toh bisa juga tertawa ngakak kalau ada hal-hal lucu. Kultur Batak memang akhirnya luluh, ketika dia pada tahun 1990 memeluk Islam. Dia disyahadatkan oleh Ketua MUI waktu itu, Prof Ali Hasjmy. Sejak itu “Muhammad” Sampe menjadi muslim yang taat, dan begitu menyatu dengan kultur Aceh.
Sekitar tahun 2009 dia terkena penyakit yang serius. Maskipun sakit, Sampe tetap terus memproduksi kartunnya. Namun penyakit yang diderita makin hari makin parah. Ia terpaksa absen melukis, dan harus dirawat di rumah sakit di Medan. Seiring dengan bergulirnya waktu, Sampe pun terus berjuang melawan penyakit yang begitu kejam menggerogoti.
Beberapa hari lalu, menjelang pangggilan Allah, tiba-tiba Sampe bangun dari sakitnya. Dia meminta kertas dan pensil. Istrinya menuruti permintaan itu. Ternyata Sampe melukis Gam Cantoi untuk melepas kerinduannya pada kartun yang telah menjadi darah dagingnya. Tubuhnya begitu lemah, tapi sosok kartun itu dapatnya diselesaikannya, diiringi linangan air mata sang istri tercinta. Mungkin, Sampe tak sekadar rindu pada kartun legendaris itu. Tapi dengan itu ia ingin menyatakan, betapa Sampe sudah benar-benar menjadi orang Aceh. Dan, di tanah ini pula jasadnya terpeluk dalam iringan doa dan kemuliaannya. Gam Cantoi itu telah pulang.(fik/sjk) 
Berikut Beberapa Kisah Gam Cantoi

Sumber : aceh.tribunnews.com

0 comments Foto Aceh 0 Facebook

 
Copyright © 2016.Foto Aceh Berita Aceh. Powered by HTML5
Top