Advertisement
BERKULIT putih bersih, selalu berbusana rapi dan trendi. Saat berjalan langkahnya cepat dan dada membusung tegak. Berpapasan dengannya pasti melihat senyuman yang menggoda dan mendengar sapaannya yang  teduh. Ia juga ramah, bertutur santun, dan berbahasa teratur.
Dialah Muhammad Kadafi. Menyandang gelar doktor, saat ini ia menjabat sebagai rektor di Universitas Malahayati. Di tangan akademisi muda berwajah tampan inilah biduk kendali kemajuan kampus yang terletak di Kota Bandar Lampung itu melaju. Di masa kepemimpinannya, akreditasi berbagai program studi meningkat. Memang ini salah satu program utamanya.
Hari itu, akhir Maret 2015, Kadafi menerima kru malahayati.ac.id di ruang kerjanya di lantai lima Gedung Rektorat Universitas Malahayati untuk sebuah bincang-bincang ringan. Ia mengenakan setelan jas abu-abu yang serasi dengan dasi dan sepatu berwarna gelap mengkilap yang lalat pun bisa terpeleset bila hinggap. Rambutnya tertata rapi. Ruangan kantornya tak kalah rapi. Rak di belakangnya bersusun buku. Interior ruangan sekelas Da Vinci –produk interior asal Italia yang mendunia– itu bernuansa seni yang anggun dengan pengaturan warna yang serasi.
Kadafi bukanlah pejabat yang sibuk memoles citra. Ketika kru malahayati.ac.id merakit peralatan rekam video wawancara, ia melepaskan jas dan ikut membantu. Ia juga tidak segan-segan meminta pendapat dan memberi ide.
Ia mengungkapkan sebuah harapan untuk para mahasiswanya agar mampu berkompetisi di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di masa mendatang. “Dari sekarang kita wajib mempersiapkan diri untuk persaingan global itu,” kata Kadafi. “Kita mempersiapkan diri untuk mampu bersaing di era MEA.”
Ia mengatakan mahasiswa di Universitas Malahayati setelah menyelesaikan kuliah tak hanya sekedar menggenggam ijazah saja, tapi juga memiliki kesiapan diri berkompetisi dalam dunia bebas. “Artinya seorang mahasiswa di masa sekarang ini tak cukup sekadar berbekal ilmu, tetapi juga memiliki jejaring dengan berbagai komponen yang positif untuk membuatnya ekses di bidangnya,” kata Kadafi.
Itulah sebabnya, kata Kadafi, Universitas Malahayati terus meningkatkan jalinan kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi di dalam negeri dan di luar negeri. “Kita juga mengirim mahasiswa ke luar negeri untuk studi banding,” katanya. Kadafi sudah merintis kerja sama dengan luar negeri, salah satunya adalah Malaysia. Yang terbaru, Kadafi sudah menjalin hubungan dengan Capital Medical University, Beijing, Cina. “Kita bisa mengirim mahasiswa untuk menimba ilmu ke Cina. Perkembangan Cina yang demikian pesatnya akan menjadikannya sebagai negara penguasa perekonomian dunia di masa depan.” Kadafi dengan berbagai jejaring yang sudah dibangunnya juga berupaya menggali segala informasi yang dibutuhkan untuk membangun Universitas Malahayati agar lebih eksis.
LAHIR di Aceh Besar pada 8 Oktober 1983, Kadafi menghabiskan masa kecilnya di Aceh. Ia menamatkan Madrasah Ibtidaiah Negeri (MIN) 1 Banda Aceh pada 1995, kemudian menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Banda Aceh. Lalu, Kadafi pindah ke Bandar Lampung dan bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 9 Bandar Lampung. Ia meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, pada 2006, sebagai lulusan terbaik. Sejak 2007, Kadafi mulai menjadi dosen di Universitas Malahayati. Sembari mengajar ia terus melanjutkan studinya, kemudian memperoleh gelar Magister Hukum di Program Pascasarjana Universitas Lampung, Bandar Lampung, pada 2009.
Kadafi lalu melanjutkan kuliah Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro dan meraih gelar doktor pada 2015. Ia berhasil mempertahankan disertasinya pada ujian promosi doktor di Kampus Undip, pada 27 Februari 2015. Penelitiannya berjudul “Rekonstruksi Kebijakan Pertanahan Berbasis Pluralisme Hukum” mengupas persoalan hak kepemilikan tanah di Aceh Besar pascatsunami 2004. Pendekatan pluralisme hukum (legal pluralism) ditawarkan Kadafi dalam penyelesaian sengketa masalah tanah di Aceh Besar setelah musibah tsunami.
Dalam pemaparan di hadapan para penguji, Kadafi menyatakan bahwa penyelesaian sengketa tanah melalui hukum formal seperti dalam penelitiannya banyak tidak tuntas. Untuk itu, Kadafi merumuskan model dengan pendekatan adat dan nilai hukum yang berlaku di masyarakat Aceh Besar. “Di Aceh Besar ada janda korban tsunami yang kehilangan kepemilikan tanah yang seharusnya hak dia, dan persoalan ini banyak terjadi,” katanya.
Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H. M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, yang memimpin sidang selama 2,5 jam itu menyebut Kadafi sebagai doktor ahli tanah khusus bencana. “Jika saya bidang hukum pertanahan, maka saudara ini doktor khusus tanah bencana,” ujarnya mencandai Kadafi.
Pada 2011, Kadafi diangkat menjadi Rektor Universitas Malahayati. Selain sebagai rektor, Kadafi adalah Direktur PT Pertamina Bintang Amin dan Wakil Direktur Keuangan Rumah Sakit Bintang Amin Husada, Bandar Lampung, Lampung. Karena itu, ia didapuk menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung dan Wakil Ketua Kantor Dagang Indonesia (Kadin) Lampung. Pemerintah Kota Bandar Lampung juga mempercayai Kadafi menjadi staf ahli bidang pendidikan.
Kendati banyak kegiatan yang digelutinya, Kadafi tetap fokus membesarkan kampusnya. Ia pun merancang tekad menjadikan Malahayati sebagai kampus berstandar internasional. “Namun tetap mengacu pada etika dan religius, yang menjadi ciri khas kita sebagai orang Indonesia,” kata Khadafi.
Universitas Malahayati saat ini menerapkan sistem asrama bagi mahasiswanya. Dengan begitu, mahasiswa bisa fokus menuntut ilmu. Setiap siswa yang tinggal di asrama diwajibkan menyantuni seorang anak yatim. Anak-anak yatim ini nantinya wajib dihadirkan sebagai pendamping saat mereka wisuda.
Selain para mahasiswa, manajemen kampus dan yayasan secara berkelanjutan memberi santunan untuk anak yatim. “Bahkan di Makasar kita juga punya sekitar 250 anak yatim,” kata Kadafi. “Kami juga memberi hadiah umrah bagi ibu anak yatim yang berprestasi terbaik.”
“JIKA diibaratkan manusia, Universitas Malahayati kini melangkah menuju kedewasaan, ia sudah mengarungi dan melalui jiwa kekanak-kanakan dan juga masa remaja yang penuh gejolak dalam mencari jati diri,” kata Kadafi.
Saat buku ini ditulis, Universitas Malahayati sudah berusia 22 tahun. Didirikan oleh H. Rusli Bintang pada Jumat 27 Agustus 1993. Berawal dari merangkak-rangkak dari ruko di Jalan Kartini, Bandar Lampung, kini gedungnya bertebar di areal berbukit seluas 84 hektare di Jalan Pramuka 27, Kemiling, Bandar Lampung.
“Pak Rusli adalah orang tua kita bersama. Beliau membangun kampus ini bukanlah untuk kepentingan pribadi, tetapi bentuk pengabdian beliau dalam menjalani kehidupan. Itulah sebabnya, semua kampus yang didirikannya selalu mengutamakan kepentingan sosial, terutama untuk menyantuni anak-anak yatim.”
Jejak kampus ini, kata Kadafi tak lepas dari langkah-langkah yang sudah ditempuh pendirinya. “Jika kita lihat langkah-langkah yang ditempuhnya, tentu tak bisa kita cerna dengan logika sederhana. Bagaimana ia yang anak yatim, hanya sekolah tamatan SMA, namun bisa mendirikan empat kampus di berbagai daerah,” katanya.
Sangat jamak jika dalam perjalanannya Universitas Malahayati tentu diwarnai berbagai dinamika, seperti halnya manusia  yang dalam sejarah peradabannya sering dipenuhi berbagai pertentangan dan sinergi. Laksana dua buah kutub medan magnet yang menimbulkan daya tolak satu sama lain atau dua muatan listrik yang saling tarik menarik yang menghasilkan energi, lalu dari sini bisa menjadi penerangan atau kerusakan.
“Pertanyaannya adalah bagaimana kita tetap menjaga dua muatan listrik ini tetap saling tarik menarik dan menghasilkan penerangan bagi kampus ini?” Kadafi bertanya.
Di kampus Universitas Malahayati ada ribuan orang dengan berbagai pola pikir yang berbeda-beda, dan juga sifat dan karakter yang beragam. Itu semua, kata Kadafi, dapat menghasilkan sebuah energi besar untuk mendorong Universitas Malahayati menjadi lembaga pendidikan yang sangat diperhitungkan.
“Intinya adalah menyatukan pikiran ke arah yang positif. Maka, insya Allah akan berwujud pada sebuah makna kehidupan yang bernilai tinggi di Universitas Malahayati ini.”
“Untuk membangun masa depan yang lebih cerah, let’s challenge the future with Malahayati University,” kata Kadafi.
DI tengah-tengah kesibukannya yang padat mengurusi kampus dan beberapa organisasi, Kadafi ternyata tetap menyisihkan waktu khusus untuk keluarga. Ia juga gemar memelihara hewan. Ia pernah merawat seekor harimau sumatera dan memelihara tupai terbang. “Saat saya bertugas di di Universitas Abulyatama Aceh,” katanya. Kedua hewan itu, belakangan dilepas ke alam bebas, ketika kembali bertugas di Universitas Bandar Lampung.
Kini, ia adalah bagian dari komunitas penggemar burung kicau. Di samping kiri rumahnya di kompleks kampus Universitas Malahayati, ia membeli sebidang tanah khusus untuk penangkaran burung. Kelihatannya, ia sangat serius merawat aneka jenis burung di penangkaran itu. Berbagai jenis hewan berkicau ada di sana. Misalnya ada berbagai jenis jalak, murai, love bird, dan berbagai jenis burung lainnya. Ada pula jenis unggas yang hampir punah seperti jalak bali. “Kita komunitas pencinta burung kicau juga berupaya melestarikan burung-burung kicau dengan membuat penangkaran dan menjaga kesinambungan kehidupannya,” kata Kadafi yang terpesona dengan keindahan jalak bali, dan terbuai dengan nyanyian kacer dan merdunya kicau murai batu.
Kadafi mengakui untuk hobinya itu ia membutuhkan biaya. “Biasanya ada saja rezeki yang datang dari burung itu sendiri, misalnya ada berbagai perlombaan maka saya ikuti, hadiah-hadiah perlombaan saya gunakan untuk merawat mereka,” katanya. Burung kicau dari penangkaran Kadafi memang menyabet sejumlah pernghargaan dengan hadiah ratusan juta rupiah. Di dekat penangkaran, berjejer berbagai piala yang diperoleh dari kicau burungnya yang menawan. Di antaranya ada Piala Hamengku Buwono IX, Piala Gubernur DKI Jakarta, Piala Gubernur Jawa Barat.
Kadafi tentu tak menafikan bahwa ada orang-orang yang menyukai burung dan membeli di penangkarannya. “Melestarikan burung bukan semata-mata karena uang, tapi kalau itu bisa menghasilkan kenapa tidak,” katanya. Namun, terlepas dari itu semua, kehadiran aneka burung itu telah menghadirkan kenyaman sendiri di rumah Kadafi. “Proses dan seni itu yang terasa nikmat,” katanya.
Itulah sebabnya, kompleks perumahan ini seperti berada di taman yang asri. Burung-burung bernyanyi membuai penghuninya yang bermukim di tengah-tengah kawasan kampus yang rimbun dengan pepohonan. []
Catatan: Tulisan ini adalah penggalan kisah dalam buku “Inspirasi, Spirit & Dedikasi”karya Nurlis E. Meuko dan editor Yuswardi A. Suud.
SUMBER : http://atjehpost.com/

0 comments Foto Aceh 0 Facebook

 
Copyright © 2016.Foto Aceh Berita Aceh. Powered by HTML5
Top